Kamis, 22 Desember 2011

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Marital Rape

Meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Media cetak maupun media elektronik hampir setiap hari meliput berita tentang perkosaan, penganiayaan, perdagangan perempuan (trafficking), pelecehan seksual, bahkan pembunuhan yang dibarengi dengan atau tanpa mutilasi. Dari sekian kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus perkosaan merupakan kasus yang sering terjadi, oleh karena perkosaan merupakan final dari urutan kekerasan terhadap perempuan, artinya setiap kasus kekerasan terhadap perempuan baik itu pelecehan seksual, penganiayaan maupun trafficking akan diakhiri ataupun bersamaan dangan perkosaan.
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dijumpai manusia ketika terlahir ke dunia. Keluarga dapat menjalankan fungsinya secara baik apabila terjadi suatu kerjasama antara suami dan istri. Akan tetapi belakangan ini justru banyak sekali perbincangan mengenai kekerasan yang mayoritas dilakukan oleh seorang suami kepada istri dan/atau anak-anak perempuan mereka sendiri. Fakta mengatakan bahwa seorang suami memiliki anggapan memukul, menampar dan sebagainya merupakan caranya untuk mendidik istri. Akan tetapi jika hal itu merupakan suatu bentuk didikan, akan berubah menjadi sebuah kekerasan yang akhirnya merugikan istri. Karena ada banyak fakta yang menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami kemudian menyakiti atau meninggalkan bekas luka yang parah yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang suami. Bahkan suami yang juga berperan sebagai seorang ayah, tidak jarang pula melakukan kekerasan kepada anak-anak mereka terutama anak perempuan yang sama seperti yang dilakukannya kepada istri mereka.
Kekerasan yang dilakukan oleh suami (laki-laki) terkadang menggunakan perkawinan sebagai legitimasi kekuasaan laki-laki atas perempuan secara jiwa dan raga. Laki-laki merasa berhak melakukan apa saja, hampir tidak ada intervensi dari orang luar, sehingga kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi sebuah “rahasia perkawinan”. Terlebih lagi pemukulan terhadap istri dalam masyarakat patriarkhis selalu dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan lumrah. Persoalan akan muncul ketika suami tidak menghayati nilai cinta kasih yang sama dengan istri, rasa harga diri laki-laki sebagai kaum pemegang norma, membuatnya melihat keluarga sebagai lembaga pelestarian otoritas dan kekuasaannya, karena dalam lembaga keluargalah seorang laki-laki pertama-tama mendapatkan pengakuan akan perannya sebagai pemimpin. Laki-laki pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga mempertahankan daya kepemimpinannya terhadap keluarga dengan menggunakan kekuatan fisik untuk menundukkan perempuan. Keberlawanan titik pijak antara laki-laki dan perempuan terhadap kuasa dan kontrol kepemimpinan laki-laki sebagai kepala rumah tangga.
Ada pula anggapan bahwa penafsiran secara agama yang mengatakan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk memukul istrinya termasuk apabila istri menolak diajak bersenggama meskipun dengan derajat rasa sakit yang ringan. Yang harus dicermati bukanlah kadar sakit yang harus ditanggung oleh istri melainkan perasaan berhak yang ada di benak suami yang memukul istrinya tadi.
Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri menjadi sulit diungkap karena kekerasan dalam rumah tangga tidak kentara dan ditutupi serta kehidupan rumah tangga merupakan area “privat”. Kemudian kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami sering dianggap wajar karena memperlakukan istri sekehendak suami masih saja dianggap bahkan diyakini sebagai hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Alasan lain dibenarkannya tindakan kekerasan suami terhadap istri dalam rumah tangga karena perbuatan tersebut terjadi dalam sebuah lembaga yang sah yaitu perkawinan. Kenyataan inilah yang selanjutnya membuat masyarakat abai dan tidak sadar bahkan muncul pandangan yang keliru bahwa suami sebisanya harus mengendalikan istri.
Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri atau yang dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang banyak terjadi di masyarakat. Kekerasan domestik dalam rumah tangga yang dimaksud adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin, berakibat pada kesengsaraan dan penderitaan-penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang ada di depan umum atau dalam lingkungan pribadi. Masih lemahnya sistem hukum yang berlaku di masyarakat merupakan faktor penyebab kekerasan terhadap istri. Kekerasan seksual terhadap istri yang terjadi dalam rumah tangga lebih dikenal oleh masyarakat umum disebut dengan istilah marital rape atau diartikan secara harfiah adalah pemerkosaan dalam rumah tangga. Dimana pada posisi seorang suami yang memaksa dengan kekerasan pada istrinya untuk melakukan hubungan seksual pada saat istri tidak menghendakinya atau di saat istri tidak menghendaki melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai istri. Penganiayaan terhadap istri khususnya secara seksual hakikatnya adalah perwujudan dari ketimpangan relasi kekuasaan antara laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri dalam masyarakat (yang sering disebut sebagai ketimpangan gender), yang secara sosial menempatkan suami lebih unggul dibandingkan dengan istri. Ketimpangan tersebut yang diperkuat oleh keyakinan sosial seperti mitos, dan prasangka yang menumbuhsuburkan praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan khususnya istri.

Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan yang dialami oleh seorang istri menurut agama Islam terdapat beberapa bentuk, dan dijelaskan pula hukuman apa saja apabila pelaku melakukan hal tersebut. Antara lain sebagai berikut:
1) Qadzaf, yakni melempar tuduhan. Misalnya menuduh wanita baik-baik  berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam, sanksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal ini berdasarkan firman Alah SWT: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah 80 kali.” (Qs. an-Nûr [24]: 4-5).
2) Membunuh, yakni ‘menghilangkan’ nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qishos (hukuman mati). Firman Allah SWT: “Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Qs. al-Baqarah [2]: 179).
3) Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya.” Pelaku akan dikenai sanksi hukumnya adalah ta’zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.
4) Penyerangan terhadap anggota tubuh. Akan dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar diyat (100 ekor unta), tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerangan terhadap lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta), satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai selaput batok kepala 1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta (lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).
5) Perbuatan-perbuatan cabul seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Kalau wanita itu adalah orang yang berada dalam kendalinya, seperti pembantu rumah tangga, maka diberikan sanksi yang maksimal
6) Penghinaan. Jika ada dua orang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun (lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).

Penyebab dari kekerasan oleh suami terhadap istri
Beberapa faktor yang menyebab terjadinya kekerasan, dalam hal ini adalah kekerasan atau pelecehan seksual suami terhadap istri, antara lain:
  1. Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
  2. Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
  3. Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
  4. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
  5. Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
  6. Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
  7. Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
  8. Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
  9. Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami sedikit otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan. Perbedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturukan secara kultural pada tiap generasi, bahkan diyakini sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga menunjukan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan.
Dari buku Marital Rape, 2007: 20-23. Berdasarkan penelitian Nurul Ilmi Idrus atas masyarakat Bugis, ada beberapa penyebab kekerasan dalam rumah tangga dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung.
Penyebab langsung kekerasan dalam rumah tangga adalah:
  1. Libido yang tidak berimbang. Dorongan seksual manusia memiliki kadar yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dalam sebuah keluarga, laki-laki biasanya lebih bisa dan berani mengekspresikannya daripada perempuan. Maka, seorang istri cenderung pasif dalam mengejawantahkan libidonya. Istri jarang untuk menolak hubungan seksual yang dipaksakan lantaran takut nantinya suami malah nyeleweng atau menceraikannya, apalagi kalau suami menganggap istrinya sudah “tidak mampu” atau “tidak setia ” lagi.
  2. Penolakan istri. Penolakan yang antara lain didorong oleh cara suami memperlakukan istri saat bersenggama atau kondisi istri sedang tidak bergairah. Penolakan ini oleh suami kerap diartikan sebagai pembangkangan karena manancap kuat keyakinan di benaknya bahwa melayani suami adalah kewajiban perempuan atau istri.
  3. Suami terpengaruh oleh alkohol atau obat-obatan. Orang mabuk akan bertindak berlebihan dan tidak terkontrol.
Penyebab tidak langsung kekerasan dalam rumah tangga adalah:
  1. Kurangnya komunikasi. Kebahagiaan suami istri terletak pada keterbukaan di antara mereka. Ada anggapan bahwa istri sebagai objek pemenuhan seks suami belaka.
  2. Suami pernah diketahui nyeleweng. Perselingkuhan suami dengan perempuan lain, secara tidak langsung memicu kekerasan seksual dalam perkawinan. Istri bersikap dingin dan pada akhirnya suami akan bertindak kasar dan agresif.
  3. Ketergantungan dan kecupetan ekonomi. Istri yang tidak mandiri secara ekonomi, lemah dalam urusan keluarga, termasuk dalam hubungan seksual. Istri rentan dipojokkan posisinya apalagi apabila disertai ancaman pemutusan suplai ekonomi.
  4. Kawin paksa. Kawin paksa lumrah membuat komunikasi yang baik dan wajar antara suami dan istri sulit terjalin.
Dampak kekerasan seksual bagi istri
Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Disebutkan pula ada dua kelompok dampak yang yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dampak medis dan dampak psikis.
  1. Dampak medis
Perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, biasanya akan mengalami lecet pada alat kelaminnya, memar wajah, pecah bibir, luka kepala, dan patah gigi depan, ini merupakan akibat dari perlakuan kasar suami dalam hubungan seksual yang dipaksakan. Akibat lainnya adalah sulitnya proses persalinan, bayi lahir prematur dan bahkan keguguran, dan seterusnya.

  1. Dampak psikis
Secara psikis, istri dapat mengalami marah, jengkel, merasa bersalah, malu dan terhina. Ada sikap dan persepsi negatif yang mendalam terhadap suami akibat dari perlakuannya, dan lain-lain.

Hubungan yang seharusnya tercipta antara suami dan istri dalam sebuah perkawinan menurut pandangan agama
Terdapat beberapa bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri sebagai wujud pemerkosaan dalam rumah tanggal (marital rape) antara lain : hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri karena ketidaksiapan istri dalam bentuk fisik dan psikis, misalnya istri sedang tidak menghendaki atau sedang tidak bergairah atau sedang sakit (kurang enak badan) untuk melakukan hubungan seksual, hubungan seksual dengan cara yang tidak dikehendaki oleh istri, misalnya dengan oral dan anal serta hubungan seksual disertai ancaman kekerasan atau dengan kekerasan yang mengakibatkan istri mengalami luka ringan ataupun berat, misalnya sebelum melakukan hubungan seksual, suami menciderai, menganiaya sampai menimbulkan luka yang mengeluarkan darah, suami baru dapat merasa puas dalam melakukan hubungan seksual. Bentuk perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istrinya, antara lain privasi dan indentitas korban, bantuan kesehatan fisik, bantuan kesehatan psikologis, bantuan hukum, hak untuk direlokasi dan hak untuk diterima kembali oleh masyarakat.
Dalam beberapa literatur Islam ada yang menyatakan bahwa suami diperbolehkan memukul istri. Bahkan ada yang berpendapat bahwa memukul itu dianjurkan oleh al-Qur`an dalam rangka memberi pelajaran kepada istrinya yang sedang nusyuz (membangkang). Ayat yang sering dijadikan alasan adalah Q.S. al- Nisa`: 34: “Dan para istri yang kamu khawatirkan nusyuz-nya (pembangkangan) maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. Ayat tersebut secara sekilas nampak memperbolehkan seorang suami memukul istrinya.
Namun ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama, kata dharaba dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti. Masyarakat umum atau bahkan para mubaligh sering mengartikan kata tersebut dengan “pukullah”. Padahal, kata tersebut mempunyai beberapa turunan yang juga bisa berarti mendidik, mencangkul, dan memelihara. Kedua, seandainya benar bahwa kata dharaba berarti memukul, pertanyaannya adalah benarkah al-Qur`an menganjurkan seorang suami untuk memukul istrinya dan kapan pemukulan terhadap istri itu diperbolehkan? Pertanyaan ini perlu dikemukakan mengingat al-Qur`an diturunkan pada masyarakat yang demikian tidak memanusiakan perempuan. Jangankan dipukul, pada masa pra-Islam, perempuan berhak dibunuh, dijadikan harta warisan, dijadikan pemuas nafsu dan lain sebagainya. Dengan kata lain, pada saat itu memukul istri adalah bentuk kekerasan yang paling ringan dibanding perilaku yang biasa dilakukan oleh masyarakat pra-Islam.
“Memukul” dalam ayat tersebut adalah alternatif terakhir dan merupakan jalan yang terpahit jika sudah tidak ada lagi jalan lain yang bisa dilakukan oleh suami. Itupun dalam rangka mendidik dan tidak boleh diartikan sebagai kekerasan terhadap istri. Sebab, dalam ayat tersebut juga dikemukakan alternatif yang lebih baik dan efektif daripada memukul, yakni menasehati dan pisah ranjang. Dalam hadits lain dinyatakan, “Tidak ada orang yang memuliakan wanita kecuali orang yang mulia, dan tidak ada orang yang menghina mereka kecuali orang yang hina” (al-Hadits).
Dalam pandangan Islam sendiri, perkawinan adalah perbuatan yang sangat mulia, bagi individu maupun masyarakat. Kebaikannya lebih banyak dari kerugiannya. Dari titik pandang kolektif, kebaikan yang paling berarti adalah diperolehnya keturunan. Namun, hal ini bukan hanya berarti pengabadian fisik manusia belaka, lebih dari itu adalah bahwa lembaga perkawinan menjamin persoalan keturunan dan prosesnya sebagai sesuatu yang suci dan tertib, tidak cabul atau kacau. Dari sudut pandang agama, mempunyai anak berarti merealisasikan kehendak Tuhan, memenuhi seruan Nabi untuk menikah dan menambah jumlah pengikutnya dan memperoleh do`a dari anaknya.
Manfaat lain dari perkawinan adalah pemenuhan kebutuhan seksual. Dalam pandangan Islam, perkawinan membantu mengatur nafsu seksual dan menyalurkannya ke arah yang benar. Demikian pula ia berfungsi sebagai perisai terhadap perbuatan zina dan persetubuhan di luar nikah. Dalam sebuah hadits Nabi menyatakan: “Wahai para pemuda, siapa diantara kamu merasa mampu menikah, menikahlah. Sungguh, itu lebih menjaga pandangan dan nafsumu. Namun, jika kamu merasa tidak mampu, berpuasalah karena itu akan menjadi obat (benteng)” (HR. Bukhari dan Muslim) Pernikahan juga membawa kedamaian dan ketenangan jiwa dan menanamkan cinta dan kasih sayang antara pasangan yang menikah. Allah menyatakan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram dengannya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang mengetahui”. (QS. al- Rum: 21) Ketenangan jiwa dan ketentraman akan mendorong seseorang untuk beribadah kepada Allah. Kerukunan antara suami istri dianggap sebagai katalisator bagi perkembangan jiwa mereka. Tegasnya, hubungan yang harmonis antara suami-istri adalah penting dalam rangka meringankan hati bebannya, dan dengan demikian memungkinkan akal untuk lebih memusatkan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Al-Ghazali dengan indah menjelaskan “Di antara manfaat pernikahan ialah bahwa hati menemukan kesenangan melalui keakraban dengan wanita, karena duduk dan bercanda dengan mereka. Kesenangan ini kemudian menjadikan sebab meningkatnya keinginan untuk beribadah”.
Manfaat lain dari pernikahan adalah sebagai sarana agar dapat saling membantu di antara mereka, sebagai sarana untuk mengembangkan diri, menjamin kemantapan sosial dan kehidupan yang bermartabat, serta terjaminnya hak-hak di antara mereka terlebih bagi seorang wanita. Dari uraian di atas memberikan pengertian bahwa pola relasi antara suami istri yang dikendaki Allah adalah pola interaksi yang harmonis, suasana hati yang damai serta keseimbangan hak dan kewajiban. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa mu`âsyarah bi al-ma`ruf, sakinah mawaddah wa rahmah dan keseimbangan hak dan kewajiban merupakan landasan moral yang harus dijadikan acuan dalam semua hal yang menyangkut hubungan suami-istri.
Dengan demikian agama tidak pernah membenarkan segala macam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada istri dalam sebuah rumah tangga, akan tetapi justru sebaliknya agama menganjurkan sepasang suami istri dapat menjalin hubungan harmonis satu sama lain. Dan hendaknya pemerintah dan instansi serta lembaga terkait meningkatkan lagi kegiatan sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan menekankan berbagai macam bentuk kekerasan seksual dalam rumah tangga (marital rape), karena Undang-Undang tersebut maupun KUHP secara khusus tidak menyebutkan macam-macam kekerasan dimaksud. Dengan demikian, masyarakat akan mengetahui secara detail tipologi marital rape, sehingga tindak pidana kekerasan seksual (marital rape) dapat dicegah dan diminimalkan sedini mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan (2002), Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Venny A (2003). Memahami Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Ciciek, Farha (1999). Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta: The Asia Foundation.
Fayumi, Badriyah. “Islam dan Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan” dalam Amirudin Arani dan Faqihuddin Qadir (ed.), Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, (Yogyakarta: Rahima, 2002).
Marlia, Milda (2007). Marital Rape Kekerasan Seksual Terhadap Istri. Pustaka Pesantren: Yogyakarta.








0 komentar:

Posting Komentar