Oleh : Xaviery
Topik: Pembelajaran
Topik: Pembelajaran
Persepsi-persepsi kronis telah menjadi milik sejumlah siswa SMA. Ilmu-ilmu sosial itu membosankan karena sajiannya bertele-tele dan untuk menguasainya dibutuhkan kemampuan menghafal yang luar biasa. Stereotip yang kurang mengesankan ini terajut dari impresi sosiologi sebagai produksi masa lampau yang dalam penyajiannya tidak relevan dengan konteks sosial siswa. Kontekstualisme ini diperhebat dengan kejenuhan mental dalam mengejar tuntutan pemenuhan kurikulum yakni menghafal sejumlah bab materi yang tersajikan dalam aneka buku wajib mata pelajaran. Seolah-olah para pelajar telah teralienasi dari diri mereka dan telah menjadi robot kurikulum, sehingga mereka tidak mempunyai waktu lagi untuk bermain, refreshing, dan melakukan interaksi sosial.
Tatkala guru menyajikan sejumlah teori sosial, mereka semakin bingung. Apa lagi, sajian-sajian itu tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan situasi sosial lingkungan sekitarnya. Mereka harus berpikir dua kali untuk mengasosiasikan teori dengan kenyataan hidupnya dan selanjutnya mencerna teori sajian guru. Keterlambatan dalam menginternalisasi materi pun terjadi. Konsep siswa baru pada tahap asosiasi, tetapi waktu pelajarannya keburu selesai. Siswa enggan melanjutkan hal itu lagi karena sudah terjaring limit waktu dan harus beralih ke mata pelajaran yang lain.
Ketika persepsi negatif merasuki pikiran siswa, minat dan motivasi belajarnya merosot. Interaksi belajar dalam kelas cenderung monoton. Guru asyik berceramah, sedangkan para siswa mengangguk-angguk pertanda guru harus segera mengakhiri pembelajaran itu. Ada yang melakukan aktivitas yang lain, seperti mengganggu teman, mendesah dan merintih. Ketika diadakan evaluasi ringan, banyak yang menunjukkan ketidakmengertiannya, lalu mereduksi bahwa mata pelajaran sosial seperti sosiologi sulit dan menjenuhkan.
Hal lain yang memperhebat persepsi negatif siswa adalah kurangnya pengetahuan guru akan situasi-situasi sosial aktual, yang tengah berlangsung dalam masyarakat. Guru kurang mampu menghubungkan relevansi pelajaran dengan kenyataan praktis dan keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lain dalam mengeksplorasi bahan pembelajaran. Selain itu, situasi dan kondisi belajar yang tidak nyaman, bising, panas, dan kurang variatif juga akan mengurangi gairah belajar siswa.
Adanya indikasi kegagalan siswa dalam mempelajari sosiologi mendesak penulis untuk melihat masalah-masalah itu dalam kaitannya dengan alternatif pemecahan yang boleh ditempuh dalam proses pembelajaran, sehingga ada harapan bagi guru bahkan siswa sendiri untuk bisa menghengkangkan persepsi dan gejala yang menghantui sebagian pelajar itu.
Sekurang-kurangnya ada tiga masalah pokok yang melatarbelakangi keengganan peserta didik untuk mempelajari Sosiologi. Pertama, masalah teknik pembelajaran yang tidak menumbuhkan motivasi siswa. Seharusnya, proses pembelajaran itu dapat memacu keingintahuan siswa untuk membedah masalah-masalah seputar lingkungan sosialnya sekaligus dapat membentuk opini pribadi terhadap masalah-masalah tersebut. Di sini, mereka bukan lagi dianggap sebagai tabula rasa, kertas kosong atau pribadi yang menerima secara pasif sajian yang tidak tepat sasaran empunya guru, pribadi yang tidak mengetahui apa-apa, melainkan pribadi yang telah berinteraksi dengan lingkungan dan berhak untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Kedua, eksistensi guru bukan sebagai fasilitator yang membelajarkan siswa, melainkan pribadi yang mengajar atau menggurui siswa. Kalau hal ini menjadi prioritas dalam pembelajaran maka kesan negatif yang bisa mematikan kreativitas siswa pun timbul, bahwa guru itu sumber ilmu tetapi siswa gudangnya ilmu. Siswa adalah bank dan guru adalah nasabahnya. Guru menabung ilmu dalam bank empunya siswa, sedangkan siswa tidak memiliki ilmu itu. Bukankah kehadiran seorang guru ibarat seorang bidan yang membantu mengeluarkan bayi dari perut seorang ibunya? Peran aktif siswa dalam mengeksplorasi dan mengkonstruksi pengetahuannya sangat diutamakan. Guru cuma memfasilitasi siswa guna mengikuti pola-pola kognitif dan memperlihatkan konsep pengetahuannya itu dapat berlaku benar untuk setiap keadaan atau sudah baku menurut referensi ilmu dan kebenaran epistemologis tertentu. Jadi, masalahnya terletak pada proses pembelajaran yang masih menganggap siswa sebagai obyek yang tidak mengetahui sesuatu.
Siswa membentuk konsep atau skemata melalui proses asimilasi dan akomodasi, sedangkan guru menunjukkan kebenaran konsep atau skemata pengetahuan siswa itu dengan hukum, teori, dan kebenaran yang berlaku umum. Jika yang diperoleh siswa adalah ketidaksesuaian, maka guru dapat menunjukkan kesalahan konsep itu dan memperlihatkan yang benar, atau membantu mencari alasan, bukti dan referensi ilmiah untuk mengkonstruksi pengetahuan baru. Yang diharapkan dari guru adalah menguasai ketrampilan profesional dan unjuk kerjanya. Membuat skenario pembelajaran yang mengesankan dan memacu keingintahuan peserta didik. Melatih kemampuan berpikir dan berinteraksi siswa secara benar sehingga siswa terpesona lalu berkesimpulan “saya berpikir, maka saya ada, saya mengalaminya, maka saya bisa”.
Ketiga, penyampaian pesan pembelajaran dengan media yang kurang interaktif dan atraktif. Yang diharapkan dari siswa adalah merasa at home, menyenangi pelajaran, merasa membutuhkan ilmu itu serta dapat melaksanakan pesan pembelajaran. Siswa dapat menterjemahkan isi pesan itu ke dalam ranah-ranah kognitif karena dari situlah sumber kompetensi baginya dan haluan evaluasi bagi guru. Siswa dapat memiliki keahlian afektif dan psikomotorik yang bisa diukur.
Menumbuhkan Motivasi
Jika keacuhan siswa karena kehilangan persepsi positif dalam mempelajari sosiologi maka urgensitas tindakan guru adalah mempunyai pemahaman yang tangguh tentang motivasi dan menemukan pola pembelajaran yang menumbuhkan motivasi siswa. Morgan (1986) dalam bukunya Introduction To Psychology, menjelaskan bahwa peserta didik yang malas itu disebabkan karena tidak adanya insentif yang menarik bagi dirinya dan ia pun tidak merasakan perasaan yang menyenangkan dari pembelajaran. Insentif dan perasaaan menyenangkan ini menjadi dorongan yang berarti bagi peserta didik. Seseorang berperilaku tertentu karena ingin mendapatkan sesuatu. Contoh insentif yang paling umum dan paling dikenal oleh peserta didik misalnya jika mereka naik kelas akan dibelikan mobil atau sepeda baru oleh orang tua. Hal ini bukan berarti guru harus seperti orang tua yang membelikan mobil, tetapi menyiapkan insentif berupa pujian (reinforcement) atau kesempatan melakukan pekerjaan lain yang memungkinkan mereka tidak terpinggirkan dari kawan-kawan lainnya.
Pujian guru menunjukkan penghargaan dan perhatian terhadap siswa. Siswa seringkali haus perhatian dan senang dipuji. Jadi dari pada memberikan perhatian ketika siswa tidak mau belajar dengan cara marah-marah dan hanya berkomentar yang merendahkan siswa, akan lebih efektif perhatian guru diarahkan pada suatu hal yang menumbuhkan rasa percaya diri dan kemauan untuk mencari informasi. Misalnya, si A pada saat ini belum bisa menjawabnya dengan baik, mungkin besok dia akan mempresentasikan informasi tersebut secara lebih lengkap.
Kerapkali insentif positif seperti di atas kurang manjur dan bahkan tidak memberi faedah perubahan bagi siswa. Kalau demikian halnya maka guru harus melihat kondisi yang memungkinkannya. Jika kondisi memaksa guru harus mempergunakan insentif negatif maka tipe insentif itu haruslah yang bermaksud untuk menghindar perolehan insentif yang tidak menyenangkan itu. Misalnya, si A tidak mengerjakan tugas bukan karena ia tidak bisa tetapi karena malas, maka insentif yang bisa diberikan adalah menyuruhnya untuk mengerjakan tugas tetapi dalam porsi yang lebih banyak untuk mengejar ketinggalannya. Pada kondisi ini diperlukan keahlian guru untuk melihat karakter siswa. Jika karakternya dipahami maka guru akan memberikan insentif yang lebih tepat.
Selain adanya insentif, motivasi juga bisa muncul bila ada pemenuhan kebutuhan yang signifikan dalam mempelajari sesuatu. Siswa akan dipacu jika ia menemukan manfaat yang berarti bagi dirinya yang kemudian bisa dilanjutkan dengan aktualisasi dirinya melalui pembelajaran itu, sebagaimana dikatakan oleh Abraham Maslow (1908-1970) dalam teori psikologinya, yakni semakin tinggi need achievement yang dimiliki seseorang semakin serius ia menggeluti sesuatu itu. Jadi, guru merupakan motivator yang memperlihatkan sejumlah manfaat dalam setiap sajian pembelajaran.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk mengembangkan motivasi dan minat peserta didik adalah dengan mengajak mereka melihat pengalaman-pengalaman yang pernah dimilikinya dan dijadikan topik pembelajaran dengan memperhatikan konteks kurikulum dan emosional psikologis peserta didik. Banyak lembaga pra-sekolah sudah mulai menggunakan metode active learning atau learning by doing, atau learning through playing, salah satu tujuannya adalah agar peserta didik mengasosiasikan belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan. Peserta didik diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya melalui apresiasi pengalaman konkret. Tapi seringkali karena keterbatasan waktu dan banyaknya mata pelajaran yang harus disajikan untuk peserta didik, hal ini agak sulit dipraktekkan. Minimalnya, guru mensetting suasana belajar dengan menghindari omelan-omelan, karena dengan itu peserta didik akan mengasosiasikan suasana belajar sebagai hal yang menarik.
Membentuk Kemampuan Berpikir
Membentuk Kemampuan Berpikir
Proses pembelajaran itu sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual, sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
Struktur dan strata intelektual terbentuk ketika intelek manusia beradaptasi dengan hal-hal yang diserap oleh pancaindera. Menurut ahli psikologi, Jean Piaget (1896-1980), sebagaimana tubuh kita mempunyai struktur tertentu agar dapat berfungsi, pikiran kita juga mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata. Skema adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya seorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya.
Skema juga bisa disebut sebagai konsep, gambaran atau kategori dalam diri manusia yang terjadi ketika manusia menggunakan pancainderanya. Gambaran itu akan semakin berkembang dan lengkap sesuai dengan tingkat kedewasaan manusia. Misalnya, anak yang sedang berjalan dengan ayahnya melihat seekor lembu. Ayahnya bertanya, “Nak, lihat binatang apa itu?” Andaikan saja anak itu belum pernah melihat lembu tetapi sudah pernah melihat kambing, maka yang sudah ada dalam pikirannya adalah skema tentang kambing. Dia menjawab, “itu kambing”. Anak itu melihat ada sesuatu yang sama antara lembu dengan konsep kambing yang ia punyai. Misalnya, berkaki empat, bermata dua, berjalan merangkak dan bertelinga dua. Anak itu belum melihat perbedaannya dengan kambing. Apabila si anak mampu melihat perbedaan-perbedaannya, ia akan mengembangkan skemanya tentang lembu, tidak sebagai kambing lagi.
Apabila manusia mengintegrasikan gambaran baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya, maka ia melakukan proses asimilasi. Proses ini terjadi bila ada kesamaan dengan konsep yang sudah ada atau melengkapi konsep itu. Dikala manusia tidak menemukan kecocokan dengan konsep yang sudah ada maka manusia melakukan akomodasi. Dalam proses ini manusia membentuk skema baru. Seorang pelajar mempunyai skema dalam pikirannya bahwa air mendidih pada suhu 100"aC. Tetapi ketika ia memanaskan beberapa air ternyata ada yang mendidih pada suhu 90"aC, 110"aC dan 80"aC. Ia menemukan bahwa air itu tidak murni atau tercampur dengan zat lain, karena air mendidih pada suhu yang berbeda. Akhirnya, pelajar itu mengembangkan skemanya yang baru tentang air, bahwasannya hanya air yang murni bisa mendidih pada suhu 100"aC.
Benyamin S. Bloom (1956) melengkapi pendapat Jean Piaget dengan membuat stratifikasi intelektual yaitu menerapkan gaya pembelajaran dengan memperhatikan aspek pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Memang diakui bahwa identifikasi strata intelektual ini jarang dimengerti dan diterapkan guru. Barangkali karena ketidaktahuan menggunakan prinsip-prinsip logika. Ukuran kemengertian siswa sebatas mempunyai jawaban persis sama dengan apa yang ada dalam buku, bukannya peta konsep (concept map) yang sama seperti kepunyaan guru. Belajar yang sesungguhnya adalah proses mentransfer konsep, seperti mempunyai kemampuan mengetahui apa yang dipelajari, membahasakannya dengan bahasa sendiri, menerapkannya dalam konteks yang praktis, mempunyai keahlian untuk membandingkan dan menganalisa serta bisa memberikan kesimpulan logis secara deduktif dan induktif dan seterusnya bisa menguraikan secara dialektis kesimpulan yang sudah disusunnya itu.
Kehadiran guru tidak lain membantu peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan strata intelektual itu dan memperlihatkan kesesuaiannya dengan kriteria kebenaran pengetahuan, yakni kebenaran yang selalu benar untuk setiap keadaan dengan konsep atau cara belajar yang sama, atau menurut referensi ahli dan acuan epistemologis yang membidanginya.
Belajar dengan Multimedia
Pembelajaran adalah proses rangsangan dan gerak balas peserta didik. Dalam rangsangan itu terkandung pesan intelektual, emotif dan afektif. Pesan akan lebih muda ditangkap oleh peserta didik apabila tersajikan melalui media empirik yang beranekaragam, seperti film, slide, foto, grafik serta diagram. Dari media inilah peserta didik terpacu untuk mengeluarkan ide, konsep atau membantu mereka mencerna sesuatu yang abstrak.
Dengan fasilitas empirik itu sesuatu yang abstrak atau bersifat historis direduksi pada suatu kenyataan yang bisa diinderai. Dengan demikian, persepsi temporal dan kebutuhan untuk mempelajarinya bisa muncul. Apabila siswa dilengkapi dengan insentif yang memadai maka kemampuannya untuk berasosiasi dan beradaptasi pun dapat diperoleh dengan segera.
Berkaitan dengan aktualisasi fasilitas empirik ini, tidak ada salahnya bagi guru untuk menjadikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat sebagai topik aktual dalam pembelajaran. Hal ini penting dilakukan agar peserta didik berimpresi positif bahwa sebenarnya pengetahuan itu bisa diperoleh lewat lingkungan sekitarnya, dan bahkan pengetahuan itu terjadi dan sudah ada dalam dirinya. Yang harus mereka lakukan sekarang adalah memposisikannya secara konseptual dan tercerna dalam strata yang diajukan oleh Bloom. Agar hal ini bisa terjadi maka guru perlu mempersiapkan skenario pembelajaran yang tepat dan sesuai.
Di bawah ini diberikan salah satu contoh pembelajaran yang menggunakan strata intelektual dan multimedia. Sebelum guru tampil di depan siswanya, guru sudah memikirkan atau memiliki konsep tertentu tentang topik yang ingin dibahas. Konsep itu tidak lain berupa sasaran kompetensi dan suasana yang ingin dibangun dalam pembelajaran. Dalam bahasa khas standarisasi nasional disebut dengan istilah RP (Rencana Pengajaran) berupa penetapan tujuan pembelejaran umum dan tujuan pembelajaran khusus dari suatu topik bahasan. Misalnya, suatu topik mengenai “Dampak-Dampak Negatif dari Urbanisasi”. Tujuan Pembelajaran Umumnya adalah siswa dapat memahami dampak-dampak negatif dari urbanisasi dan mengekplorasi pengalaman inderawinya serta mempunyai perspektif tertentu terhadap dampak-dampak tersebut. Kompetensi yang harus dimiliki siswa setelah pelajaran itu usai ialah menyebutkan dampak-dampak negatif dari urbanisasi, menghubungkan dampak yang satu dengan dampak yang lain, menjelaskan kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah, siswa dapat mengobjeksi kebijaksanaan tersebut, memberikan alternatif pemecahan dan siswa dapat mempunyai konsep sendiri tentang usaha-usaha mengerem laju urbanisasi.
Guru dapat menggunakan pendekatan rasional atau fungsional untuk topik ini karena selain guru menyampaikan konsep atau teori yang harus dicerna oleh peserta didik, guru juga menginginkan perilaku tertentu yang harus dimiliki oleh siswa, seperti aktivitas membaca koran/majalah atau mengangkat situasi-situasi hidupnya. Dalam pembelajaran, guru boleh menggunakan tiga metode sekaligus yaitu metode ceramah, diskusi dan tugas. Tentu saja guru harus terlebih dahulu mencari referensi buku, media masssa dan pengalaman-pengalaman aktual pada lingkungan sekitarnya.
Pada sesi pembahasan guru dapat menyajikan informasi mengenai urbanisasi, seperti pengertiannya, sebab-sebab terjadinya urbanisasi, contoh-contoh mengenai dampak positif dan negatifnya. Uraian itu disajikan terstruktur, singkat dan jelas.
Untuk membangkitkan perhatian dan menarik minat peserta didik maka sebelum memulai topik itu, terlebih dahulu disajikan gambar, foto, film atau slide OHP yang berhubungan dengan dampak-dampak negatif urbanisasi. Guna merangsang ingatan dan pengetahuan siswa, mereka diberi kesempatan untuk berkomentar atau menyampaikan tanggapannya masing-masing terhadap apa yang disajikan itu. Guru juga boleh menanyakan apakah mereka mempunyai cerita atau pengalaman yang mirip sama. Bagaimana mereka memberikan tanggapannya masing-masing terhadap cerita atau pengalaman itu. Guru kemudian menghubungkan realitas atau kesan inderawi itu dengan topik bahasan yang ingin dipelajari. Setiap jawaban yang diberikan selalu ditanggapi dengan reiforcement yang tepat.
Guru menjelaskan pengertian urbanisasi dan faktor-faktor yang menyebabkan urbanisasi serta memperlihatkan contoh-contoh positif dan negatif dari urbanisasi serta menyebutkan salah satu kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah, misalnya demi penertiban dan keindahan kota maka diadakan penggusuran rumah liar.
Demi melibatkan peran aktif peserta didik, maka mereka dibagi dalam kelompok-kelompok dan mendiskusikan dampak-dampak negatif itu, membandingkan dampak yang satu dengan yang lain. Mereka menjelaskan strategi yang pernah mereka atau pemerintah lakukan. Melihat keunggulan dan kelemahannya dan mengemukakan alternatif pemecahan baru. Guru bisa melakukan gerak mendekati, mengunjungi kelompok-kelompok itu dan menanyakan kesulitan apa yang dialami siswa dalam tugas itu.
Hasil diskusi kelompok dilaporkan dan masing-masing kelompok memberikan kritik dan tanggapan atas hasil diskusi itu. Kemudian, sebagai moderator guru memberikan masukan seimbang terhadap yang masih kurang. Salah seorang siswa diminta menyimpulkan hasil diskusi. Sebagai bahan tugas dan sekaligus mengevaluasi konsep yang dimiliki siswa, guru menyampaikan salah satu dampak positif dan negatif dari urbanisasi dan meminta siswa membeberkan solusi yang sudah pernah diambil pemerintah, menemukan kelemahan dan kelebihannya, mencari solusi alternatif serta memikirkan langkah-langkah apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi laju urbanisasi.
Evaluasi Rutin dan Penelitian Kelas
Evaluasi yang dimaksudkan adalah melihat sejauh mana keterlibatan aktif peserta didik dalam pembelajaran dan sejauh mana mereka memiliki kemampuan-kemampuan tertentu seperti yang digariskan dalam tujuan pembelajaran khusus. Bahan evaluasi bisa diperoleh dengan riset sederhana dan populasi kelas sebagai ruang lingkupnya. Guru mengukur keberhasilan itu lewat ujian dan latihan-latihan. Apabila 70 % siswa telah memiliki kompetensi seperti yang diharapkan maka keberhasilan guru telah terukur. Apabila ditemukan daya beda atau angka perbandingan siswa yang mampu dan yang tidak mampu begitu tinggi maka guru perlu mengkaji bahan dan strategi yang cocok. Guru juga bisa mendapatkan masukan bagi perbaikan pengajaran baik dari siswa sendiri maupun dari rekan sekerjanya.
Peserta didik diajak untuk mengemas cara pembelajaran yang serius dan menyenangkan. Mereka bisa mengkritik guru dan menunjukkan hal-hal mana yang harus diperbaiki sehingga pendekatan dalam pembelajaran bukannya top down, melainkan bottom up. Kalau boleh mereka sendiri yang menentukan hal-hal mana yang harus mereka pelajari yang kiranya mendesak dan bermanfaat bagi hidup mereka. Adanya kurikulum hanya sebagai referensi dan patokan alternatif.
Simpul Pembelajaran
Kegagalan guru dalam mengkonstruksi dan mengelola pembelajaran akan mengakibatkan ketidakberhasilan bagi peserta didik. Selain, peserta didik kehilangan minat dan perhatian dalam pembelajaran itu, mereka juga kehilangan motivasi untuk menggeluti mata pelajaran tersebut.
Indikasi positif dan sederhana yang harus dimiliki peserta didik adalah adanya gairah dan menyenangi pelajaran itu serta terpacu untuk mencari tahu sejauh mana pelajaran itu bermanfaat bagi dirinya. Bila ditemukan banyak siswa yang mulai menggeluti suatu problem sosial dengan bertanya, mengumpulkan informasi serta tidak jenuh menggunakan perpustakaan maka hampir bisa dipastikan bahwa antusiasisme siswa terhadap ilmu-ilmu sosial perlahan-lahan bangkit. Kalau indikasi itu yang terjadi maka guru wajib memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana memahami suatu peristiwa sosial dari kaca mata sosiologis dan menawarkan bagaimana cara membaca yang menggunakan peta konsep, dalam arti menggiatkan berbagai jenis kemampuan seperti yang diajukan oleh Bloom.
Hasil perenungan penulis atas pembelajaran sosiologi di masa lalu mengurgenkan penulis untuk menyuarakan beberapa saran. Bagi guru, perlu ada peningkatan unjuk profesionalnya dalam mengemas bahan pelajaran, menyampaikannya, mengelola dan membuat evaluasi atas pembelajaran yang terjadi serta melengkapi diri dengan keahlian menerapkan konsep logika dalam pembelajaran. Selain itu, mempersiapkan fasilitas yang lahir dari kreativitasnya, bukan sekedar menunggu dipenuhi oleh lembaga tertentu. Menambah wawasan dengan membaca dan melihat keterkaitan ilmunya dengan ilmu-ilmu lain serta menyajikan manfaat yang bisa diperoleh siswa dengan mempelajari pelajaran tertentu, sehingga mereka termotivasi untuk menggelutinya.
Oleh karena kualitas siswa yang menjadi sorotan keberhasilan pendidikan, maka siswa sendiri perlu mempertanyakan eksistensinya dalam belajar. Siswa dapat membuat refleksi yang memadai tentang dirinya, aktivitasnya, harapannya, cita-citanya dukungan orang tua, menyadari betapa pentingnya waktu, dan terutama mempertanyakan dirinya tentang apa arti hidupnya.
Bagi organ sekolah dan stakeholders pendidikan agar tidak melihat keberhasilan dunia pendidikan saja tetapi mempertanyakan apa perannya masing-masing. Tidak lupa penulis mengharapkan decision makers agar menyederhanakan jumlah mata pelajaran sehingga siswa tidak terbebani dengan begitu banyak jumlah pelajaran dan akhirnya kehilangan motivasi belajar. Kita menginginkan sesuatu yang jumlahnya sedikit tetapi isinya padat dari pada jumlahnya banyak tetapi isinya tiada. Barangkali perlu dipikirkan cara-cara untuk menumbuhkembangkan konsep berpikir yang tahan uji pada diri peserta didik, bukan sekedar menuntut prosentase kelulusan. Oleh karena itu, perlu juga dibangkitkan wacana publik tentang adanya konstitusi pendidikan yang tidak terkontaminasi dengan muatan-muatan politis dan mengatur secara jelas kurikulum yang stabil serta pengalokasian dana pendidikan yang cukup untuk membiayai pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkan. Peny. (2002). John Muller: Cerdas di Sekolah Kepribadian. Jakarta: 2002
H. Chalijah Hasan (1994). Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan. Jakarta: Al-Ikhlas
Piaget, J. (1970). Genetic Epistemology. New York: Columbia University Press
Rini, M. (2002). Anakku Malas Belajar. Jakarta: Majalah Psikologi (Internet)
Suryabrata, Sumadi (1984). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Suparno, P. (2002). Filsafat Konstuksivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
0 komentar:
Posting Komentar