Sabtu, 24 Desember 2011

Glamoritas dan Kekerasan dalam Sinetron Indonesia

Orang terhadap televisi sudah tidak hanya melihat atau menonton lagi, tetapi sudah terlibat di dalamnya” (McLuhan).

Pernyataan di atas mengukuhkan betapa kuatnya pengaruh televisi bagi kehidupan para penontonnya. Kecil, namun mampu memberi pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang. Media ini mampu menampilkan segala cerita, peristiwa di mana pun di berbagai belahan dunia. Melalui media ini, dunia seolah-olah mampu kita raih dengan hanya menekan tombol on/off. Media ini menyuguhkan berbagai acara sesuai dengan kebutuhan kita. Mulai dari acara anak-anak sampai acara orang dewasa.

Jelas, separuh hidup kita dibenamkan dalam tayangan-tayangan yang membuai imaji, ilusi, dan impresi kita. Nikmat memang menjalani hidup dengan ”si kotak ajaib” ini, ia membantu kita melepaskan realitas yang terjadi pada diri kita. Bukan media ini yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku seseorang, namun bentuk acara yang disajikan (film, sinetron, iklan, dan lain-lain dalam televisi). Bius program-programnya mengantarkan kita ke alam antah berantah yang tidak pernah kita sentuh, bahkan kita bayangkan. Lihat saja si Clara dalam sinetron ”Dara Manisku” yang ditayangkan di RCTI setiap Rabu pukul 08.00 malam yang hidup dalam limpahan materi, bergaya hidup bak putri raja yang keinginannya selalu bisa dipenuhi. Ini memang sengaja dihadirkan televisi hanya untuk meraih rating yang tinggi, tanpa melihat dampaknya yang luas bagi generasi bangsa ini. Akibatnya, tidak jarang kehidupan remaja saat ini terpengaruh. Kehidupan glamor, merebaknya hp, hedonisme, konsumerisme menjadi paham yang dipegang teguh. Terlebih budaya shooping menjadi hobi utama para remaja saat ini.

Selain program-program sinetron glamor yang mencengangkan di atas, tayangan kekerasan (violence) berupa pembunuhan, perkelahian, perkosaan, pelecehan seksual, dan sejenisnya yang mengandung adegan-adegan antisosial meneror anak-anak yang masih labil dan berpotensi tinggi melakukan peniruan terhadap adegan-adegan tersebut. Coba saja kita tengok sejenak tayangan sinetron yang pernah ditayangkan di SCTV berjudul ”Tangisan Anak Tiri”. Sinetron tersebut memang berkategori anak-anak, tetapi sangat tidak layak dikonsumsi anak-anak, bahkan cenderung mengarah pada praktik-praktik kekerasan pada anak-anak (child abuse). Adegan-adegan kekerasan, yang tersaji di layar kaca kita selama ini tampaknya memang sengaja mengeksploitasi ketegangan dan kengerian kepada para penontonnya. Imbasnya, pada tahun lalu kita dikejutkan oleh sebuah berita kriminal dari program ”SERGAP” di RCTI yang menyiarkan tragedi memilukan tentang seorang bocah yatim berumur 5 tahun yang babak belur, bahkan beberapa tulangnya patah akibat di ”smack-down” oleh dua kakak angkat laki-lakinya gara-gara meniru adegan perkelahian di sinetron.

Himmelewipert dalam Television and Child menyatakan, siaran televisi mengajari anak untuk mengenal kehidupan masyarakatnya dan masyarakat lain. Siaran televisi berfungsi sebagai wahana proses sosialisasi. Anak-anak diajari mengenal nilai-nilai luhur tetapi mereka juga disuguhi nilai-nilai buruk. Oleh karena itu, hendaknya kita selalu menyeleksi tayangan-tayangan apa yang harus ditonton dan yang tidak perlu ditonton. Dalam sebuah penelitian tentang pengaruh televisi dan kemampuan otak anak yang dilakukan para ahli dari University of Washington Seattle, Amerika Serikat menyebutkan bahwa televisi telah mengubah cara berpikir anak. Anak-anak yang terlalu banyak menonton televisi biasanya akan tumbuh menjadi sosok yang sulit berkonsentrasi dan kurang perhatian terhadap lingkungan sekitar. Keadaan tersebut akan memengaruhi perkembangan otak anak.
Sumber: http//www.kpi.id/index.php? Categoryid = 10&P 2000_articleid = 22

0 komentar:

Posting Komentar