Senin, 26 Desember 2011

Artikel : Salahkah Kalau Ngapak...??

Standar Kompetensi
Memahami perilaku keteraturan hidup sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat
Kompetensi Dasar
Mendeskripsikan proses interaksi sosial sebagai dasar pengembangan pola keteraturan dan dinamika kehidupan sosial
 
Tertawa, melihat dengan sorotan tajam seolah-olah nampak sesuatu yang aneh, mengernyitkan dahi, dan bahkan mungkin memperlihatkan senyuman sinis dan sedikit tak ihklas. Mungkin itulah sedikit gambaran dari reaksi yang orang tunjukkan ketika mendengar orang lain berbicara dengan menggunakan dialek ngapak. Masih teringat dengan jelas, ketika dalam suatu mata kuliah ditugaskan untuk mempraktekan bahasa ngapak, teman-teman menertawakan layaknya sedang menonton acara komedi di TV seperti OVJ dan melihat para komedian melawak dan menghibur penonton di panggung hiburan, bahkan ada juga yang dengan sengaja merekam. Hari itu, saya benar-benar merasa menjalani profesi baru sebagai pelawak/komedian, sebuah profesi yang sama sekali tak pernah terlintas dalam benak saya untuk dijalani menjadi seorang komedian.

Ngapak sendiri merupakan bahasa daerah yang tersebar di beberapa daerah seperti Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, dan Tegal. Bahasa ngapak tentu memiliki kekhasan tersendiri, begitupun dengan bahasa dari daerah-daerah lainnya. Akan tetapi dalam kehidupan masyarakat, kebanyakan orang menganggap bahwa bahasa ngapak cenderung kasar. Padahal sudah tertera dengan jelas dalam mata pelajaran Sosiologi bahwa bahasa dikategorikan dalam suatu struktur yang disebut diferensiasi sosial, yang berarti tidak ada satupun bahasa yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari bahasa lain dan tidak juga ada bahasa satu yang lebih baik dari bahasa lain. Jujur saja dari anggapan tersebutlah yang membuat awal-awal kuliah saya sedikit minder dan malu untuk menggunakan bahasa ngapak, takut kalau-kalau atau jangan-jangan nanti saya juga dikategorikan sebagai orang kasar. Dan berangkat dari anggapan bahasa kasar, perasaan minder dan malu itulah yang akhirnya membuat saya lebih sering berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kondisi demikian berlangsung hampir selama 3 semester awal saya kuliah. Lama kelamaan saya sadar bahwa apa yang selama ini saya pelajari dalam ilmu Sosiologi dan Antropologi sebagai program studi yang saya ambil, sama sekali tidak pernah mengajarkan untuk memberikan penilaian benar atau salah, baik atau buruk mengenai suatu fenomena sosial dalam masyarakat. Terlebih lagi kita dilahirkan dan dibesarkan dalam sebuah negara yang dikatakan sebagai negara multikultural, plural, dan penuh dengan keanekaragaman, termasuk di dalamnya beraneka ragam bahasa.

Hal lain yang membuat miris, ketika orang dari Banyumas ditanya soal daerah asal, ada saja dari mereka yang menjawab Purwokerto. Mendengar jawaban demikian, saya sedikit heran dan pertanyaan saya adalah “Kenapa Purwokerto?”, ”Kenapa tidak mereka jawab saja dengan Banyumas?”, “Apa mereka malu?”, “Ada sesuatu yang salahkah dengan Banyumas?”. Yang harus kita lakukan sebenarnya adalah bangga dengan bahasa ngapak dan tetap menggunakan bahasa ngapak (terkecuali kalau dalam acara-acara resmi yang memang menuntut kita menggunakan bahasa Indonesia).

so buat para ngapaker, jangan pernah malu untuk berinteraksi dengan bahasa ngapak. Tunjukkan identitas kita sebagai orang ngapak...
Sumber : Hasil buah pikiran saya sendiri..alhamdulillah yah....sesuatu sekaliii

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ngomong ngapak kue rasane mantep
salam cah mbanjar wetan bolinggo.

Posting Komentar