Selasa, 13 Desember 2011

Analisis Artikel

Posted on April 20, 2008 by abbas85
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada hakekatnya merupakan tasli untuk mengantarkan peserta didik menuju pada kesadaran sosial yang lebih tinggi dari sebelum ia mengenyam pendidikan. Namun, dalam perjalanannya pendidikan kerap malah memisahkan peserta didik dari kehidupan sosialnya. Hal ini terjadi karena pendidikan yang diberikan bukan lagi berbasis akan realitas masyarakat. Akan tetapi lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar. Sehingga peserta didik setelah selesai mendapatkan pendidikan bukan peka akan relaitas sosial malah hilang dari realitas sosial. Melihat realitas tersebut perlu kiranya merubah akan orientasi dari pendidikan tersebut. Agar pendidikan dapat memainkan peranannya sebagai motor penggerak mobilitas sosial. Sebab pendidikan sebagai pembentuk intelektual peserta didiknya merupakan faktor yang sangat penting dalam perubahan yang terjadi di masyarakat. Bahkan boleh dikatakan, perubahan dalam masyarakat tergantung akan pendidikan apa yang diterima oleh peserta didiknya. Sebagai contoh, apabila pendidikan mengajarkan bahwa komunis, kapitalisme, dan anarkisme tidak baik. Maka peserta didik tidak akan melakukan hal tersebut. Misalnya juga bahwa untuk dapat mendekatkan diri kepada Tuhan harus dengan peka terhadap realitas sosial maka peserta didik yang dihasilkan akan selalu melakukan analisa sosial. Mobilitas sebagai salah satu indikator bahwa masyarakat kita mengalami kemajuan atau tidak cukup pantas kiranya dijadikan sebuh orientasi dari pendidikan. Sebab, tanpa adanya mobilitas sosial masyarakat tidak mungkin untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Dari gambaran di atas, maka dalam makalah ini saya akan mencoba membahas sedikit perubahan orientasi pendidikan dalam upaya melakukan mobilitas sosial.

Pokok Bahasan
  1. Bagaimana strategi pembaharuan pendidikan demi tercapainya mobilitas sosial?
  2. Bagaimana terjadinya mobilitas sosial?
  3. Apa peranan pendidikan dalam mewujudkan mobilitas sosial?


PEMBAHASAN
Strategi Pembaharuan Pendidikan demi Tercapainya Mobilitas Sosial
Strategi pembaharuan pendidikan merupakan perspektif baru dalam dunia pendidikan yang mulai dirintis sebagai alternatif untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang belum diatasi secara tuntas. Jadi pembaharuan pendidikan dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang ada dalam dunia pendidikan dan menyongsong arah perkembangan dunia pendidikan yang lebih memberikan harapan kemajuan ke depan. Dalam proses pendidikan paling tidak memiliki dua peran yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Pendidikan akan berpengaruh terhadap perubahan masyarakat, dan 2) Pendidikan harus memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi menuju masyarakat madani. Proses perubahan sistem pendidikan harus dilakukan secara terencana dengan langkah-langah yang strategis, yaitu “mengidentifikasikan berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan dan merumuskan langkah-langkah pembaharuan yang lebih bersifat strategis dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan” langkah-langkah tersebut harus dilakukan secara terencana, sistematis, dan menyentuh semua aspek, mengantisipasi perubahan yang terjadi, mampu merekayasa terbentuknya sumber daya manusia yang cerdas, yang memiliki kemampuan inovatif dan mampu meningkatkan kualitas manusia. Oleh karena itu pendidikan betul-betul akan berpengaruh terhadap perubahan kehidupan masyarakat dan dapat memberikan sumbangan optimasi terhadap proses transformasi ilmu pengetahuan dan pelatihan dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan manusia.
Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial adalah sebuah menggerakan masyarakat dalam kegiatan dan mengalami perubahan yang lebih baik. Mobilitas sosial ada yang terjadi secara vertikal dan ada yang horisontal. Mobilitas secara vertikal terjadi apabila seorang mengalami kemajuan dan peningkatan dalam taraf sosialnya. Contohnya seorang burh pabrik yang giat bekerja, karena ia dipandang ulet dan rajin oleh atasannya lalu diangkat mejadi kepala bagian. Sedangkan mobilitas sosial horisontal adalah apabila perubahan yang terjadi secara linier. Contohnya seorang petani yang berubah pekerjaanya menjadi buruh pabrik. Dalam melakukan mobilitas sosial ada beberapa faktor yang menjadi penghambat diantaranya: kesenjangan ekonomi, kebodohan, perbedaan kasta, kemalasan. Faktor yang paling menghambat dalam mobilitas sosial adalah kebodohan atau kurangnya pendidikan. Seperti faktor penghambat, faktor yang mempengaruhi mobilitas sosial pun cukup banyak diantaranya keinginan untuk berubah, bosan dengan keadaan yang sudah ada, dan pendidikan. Disinilah pendidikan memainkan peranannya untuk membentuk intelektual manusia, sehingga kemampuan intelektual ini menjadi lokomotif mobilitas sosial ekonomis. Sebab, dalam kehidupan nyata, kekuatan intelektual ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari kekuatan sosial. Akibat dari faktor keterpelajaran, keterdidikan atau intelektualitas ini, citra pendidikan dalam masyarakat kita selalu berada pada lingkaran persoalan konseptual berupa: (1) perbenturan modern dan tradisional, (2) masalah Barat dan Timur, (3) ketegangan antara kaya dan miskin, dan (4) ketegangan dan upaya memperoleh ruang publik dan otonomi. Gambaran teori Marxis nampaknya dapat dijadikan bahan refleksi untuk melakukan perubahan. Meskipun teori ini lahir dari dunia barat namun pola perubahan yang dilakukan cukup baik. Teori Marxisme mengajarkan kita untuk mampu melakukan perubahan agar terbentuknya masyarakat yang tanpa kelas. Dalam artian semuanya sama dalam kelas masyarakat. Tidak ada lagi kelas borjuis dan kelas proletar. Kesenjangan ekonomi yang ada dijadikan sebagai alat untuk melakukan mobilitas sosial. Masyarakat diajak untuk melakukan perubahan agar dapat sejajar dengan golongan kelas lain. Dan kelas yang borjuis dipaksa untuk mau berbagi dengan kelas proletar.
Peranan Pendidikan Dalam Mewujudkan Mobilitas Sosial
Pendidikan dalam kaitannya dengan mobilitas sosial harus mampu untuk mengubah mindstream peserta didik akan realitas sosialnya. Pendidikan yang tepat untuk mengubah paradigma ini adalah pendidikan kritis yang pernah digulirkan oleh Paulo Freire. Sebab, pendidikan kritis mengajarkan kita selalu memperhatikan kepada kelas-kelas yang terdapat di dalam masyakarakat dan berupaya memberi kesempatan yang sama bagi kelas-kelas sosial tersebut untuk memperoleh pendidikan. Disini fungsi pendidikan bukan lagi hanya sekedar usaha sadar yang berkelanjutan. Akan tetapi sudah merupakan sebuah alat untuk melakukan peruabahan dalam masyarakat. Pendidikan harus bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang realitas sosial, analisa sosial dan cara melakukan mobilitas sosial. Orang bisa mendebat balik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Di banyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi. Cengkeraman kapitalisme nampaknya begitu kental dalam dunia pendidikan di Indonesia. Didorong oleh misi untuk meningkatkan akumulasi kapital sebesar-besarnya, lembaga pendidikan akan lebih banyak menerima pelajar-pelajar gedongan meski memiliki IQ pas-pasan. Pelajar yang berprestasi tetapi miskin, tidak dapat sekolah atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Mobilitas sosial vertikal hanya akan menjadi milik orang kaya yang mampu sekolah tinggi, meskipun secara intelektual diragukan. Berbarengan dengan meningkatnya gejala privatisasi pendidikan dan aspirasi atas pendidikan yang berkualitas memang juga terjadi peningkatan kecenderungan dalam masyarakat untuk mendirikan pendidikan yang mahal tetapi menjanjikan mutu. Buktinya sekolah/madrasah baik swasta maupun negeri semakin meningkat jumlahnya dalam kurun hampir dua dasawarsa terakhir. Jelas hanya terdapat segelintir kalangan masyarakat biasa disebut sebagai “kelas menengah” – yang mampu membeli pendidikan yang mahal tersebut. Tetapi lembaga-lembaga pendidikan yang mahal itu sudah terlanjur eksis di mana-mana, dan tersebar dimana-mana. Dan ini jelas perlu dihargai dan didukung. Disinilah terletak dilema klasik. Pendidikan merupakan akses yang sangat penting – jika tidak satu-satunya – untuk mencapai mobilitas sosial, tetapi kaum miskin tidak dapat menjangkau akses tersebut, karena mahalnya biaya. Akhirnya terciptalah vicious circle (lingkaran setan) kerniskinan menciptakan keterbelakangan pendidikan dan sosial ekonomi, dan keterbelakangan sosial ekonomi menghasilkan keterbelakangan pendidikan. Dalam konteks terakhir inilah kebutuhan pada filantrofi (kedermawanan) secara khusus untuk pendidikan terasa semakin dibutuhkan dan mendesak. Jika tidak, sekolah/madrasah yang berkualitas hanya bisa dimasuki anak anak dari keluarga kaya. Padahal, kita juga tahu terdapat cukup banyak anak dari kalangan miskin yang cerdas, berbakat, rajin, mau bekerja keras dan dengan demikian cukup menjanjikan. Memang tradisi filantropi untuk pendidikan bukanlah sesuatu hal baru di Indonesia. Kita tahu sangat banyak lembaga pendidikan, seperti madrasah/sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi yang didirikan dan dikembangkan dengan dana filantrofi. Agaknya, hampir bisa dipastikan lembaga lembaga pendidikan yang dibangun dengan dana filantropi swasta dan masyarakat jauh lebih banyak dibandingkan dana pemerintah.

PENUTUP
Orientasi pendidikan sangat perlu dilakukan agar pendidikan selalu peka akan realitas sosial yang ada. Perubahan orientasi bukan lagi hanya pada wilayah materi. Akan tetapi harus sudah dapat menyentuh pada wilayah orientasi di masyarakat. Jelasnya terlihat bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah suatu jalan yang harus ditempatkan dan ditempuh untuk melakukan perubahan dalam tatanan masyakat (mobilitas sosial). Sebab, saat kita akan melakukan perubahan mau tidak mau harus menyadarkan masyarakat tentang kesejajaran kelas. Dan ini hanya bisa dilakukan saat masyarakat sudah mendapatkan pendidikan yang benar. Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat diantaranya kesenjangan ekonomi, kebodohan, perbedaan kasta, dan kemalasan. Faktor yang paling menghambat dalam mobilitas sosial adalah kebodohan atau kurangnya pendidikan. Faktor yang mempengaruhi mobilitas sosial pun cukup banyak diantaranya keinginan untuk berubah, bosan dengan keadaan yang sudah ada, dan pendidikan. Disinilah pendidikan menjadi faktor penentu dalam mobilitas sosial. Oleh karena itu saat kita akan melakukan mobilitas sosial maka yang harus dibenahi adalah pendidikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen FIP-IKIP Malang. 1987. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Kelompok Kerja Pengkajian dan perumusan. 1999.
Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Ritzer, George -Dougla J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi odern. Jakarta: Kencana.
Widijanto, Tjahjono. Wajah Perempuan dalam Sastra Indonesia. www. Republika.com,
Perdana, Ari A.. Pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan. WWW. CSIS.com
Suharto, Edi. Bahaya Sosial Privatisasi Pendidikan. http://relawan.net
Suyanto. Mobilitas Horizontal bagi Guru Bermutu. www. UNY.co.id

  1. Analisis
Mobilitas sosial bersifat terbuka sehingga dengan kriteria-kriteria tertentu memungkinkan bagi seseorang untuk menaikan status dan kedudukannya dalam masyarakat. Dan tidak menutup kemungkinan pula bagi seseorang yang memiliki status dan kedudukan tinggi dalam masyarakat turun ke status dan kedudukan yang lebih rendah karena faktor-faktor tertentu, dan salah satu kriteria untuk menaikan status dan kedudukan tersebut adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai salah satu upaya meningkatkan mobilitas sosial dalam masyarakat. Tingkat pendidikan tinggi dapat memberikan peluang bagi seseorang untuk menduduki lapisan yang tinggi pula. Ketika seseorang memiliki tingkat pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan dianggap oleh masyarakat memiliki kemampuan lebih, serta memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas.
Akan tetapi sayangnya tidak semua individu mampu memperoleh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Faktor utama sudah sangat jelas adalah karena terkendala secara finansial sehingga tidak mengherankan jika sekolah pun terkadang seperti menjadi sebuah wahana untuk memperjelas atau mengidentifikasikan suatu kedudukan atau golongan sosial tertentu. Misal orang tua dengan tingkat ekonomi pas-pasan atau bahkan rendah hanya mampu menyekolahkan anak di sekolah kejuruan dengan harapan agar setelah lulus, dengan berbekal ketrampilan yang diperoleh selama di sekolah anak dapat langsung bekerja dan tidak perlu melanjutkan hingga ke perguruan tinggi. Tentu berbeda halnya dengan kondisi perekonomian orang tua dari golongan atas cenderung akan memilih sekolah menengah atas untuk anak dengan harapan agar dapat melanjutkan ke perguruan tinggi menjadi seorang sarjana. Kondisi demikian memunculkan suatu anggapan bahwa murid-murid di sekolah kejuruan adalah anak-anak dari golongan tidak berpunya, sedangkan murid-murid di sekolah menengah atas adalah anak-anak dari golongan kaya atau berpunya.
Meskipun demikian bagi seseorang dengan status sosial yang dianggap rendah oleh masyarakat tidaklah perlu berkecil hati. Anak seorang tukang becak mungkin saja suatu saat nanti dengan kemauan kuat, tekad yang bulat, disertai dengan serangkaian usaha dan kerja keras akan menjadi seorang guru, atau dokter, atau bahkan dapat pula menjadi seorang direktur di sebuah perusahaan. Dan seorang pejabat juga mungkin saja kelak akan turun jabatan karena tidak mampu mengemban tugasnya atau karena tergiur uang rakyat sehingga tersangkut kasus koupsi. Oleh karena itu bukanlah suatu hal yang mudah untuk menaikan status sosial dalam masyarakat tanpa dibekali dengan ketrampilan (skill) serta dengan pemikiran yang kreatif dan inovatif.

0 komentar:

Posting Komentar